BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangSebagai suatu kelompok masyarakat, orang-orang Manggarai memiliki kebiasaan yang bernilai tertentu. Kebiasaan itu telah diwariskan secara turun-temurun. Kita dapat mengatakan hal itu sebagai kebudayaan. Salah satu budaya Manggarai adalah budaya syukur yang diungkapkan dalam suatu upacara meriah yaitu penti.
1.2.Tujuan Penulisan
Hal yang menarik berkaitan dengan upacara penti adalah bahwa orang-orang Manggarai berusaha memelihara kebiasaan itu. Sayangnya, tidak semua kampung di Manggarai menjalankan upacara itu oleh karena beberapa hal. Hal ini mengundang minat pemakalah untuk membahas upacara itu.
Dalam makalah ini, pemakalah, yang adalah para putra Manggarai, hendak membahas upacara itu. Tujuannya adalah agar para pembaca mengenal meski serba sedikit tentang upacara penti. Pemakalah berharap dengan bertambahnya pengetahuan anak-anak bangsa akan budaya daerah, semakin dikembangkanlah sikap menghargai kekayaan budaya nasional. Harapan selanjutnya adalah semoga para putra bangsa mengembangkan sikap pluralis dan penghargaan terhadap perbedaan yang tak terbantahkan dalam konteks kebangsaan kita.
BAB 2
SEKILAS TENTANG MANGGARAI
Secara geografis, Manggarai terletak di Flores bagian barat. Bagian utara berbatasan dengan laut Flores, bagian selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian timur berbatasan dengan kabupaten Ngada, bagian barat berbatasan dengan kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Saat ini, wilayah Manggarai terbagi dalam tiga kabupaten yaitu:
a. kabupaten Manggarai dengan ibukota Ruteng
b. kabupaten Manggarai Barat dengan ibukota Labuan Bajo
c. kabupaten Manggarai Timur dengan ibukota Borong.
Secara topografis, tanah Manggarai merupakan tanah berbukit-bukit dan juga memiliki dataran lapang yang merupakan daerah yang cocok untuk area persawahan.
Orang Manggarai adalah orang-orang pribumi yang tersebar dari perbatasan timur, barat, utara, selatan wilayah Manggarai. Salah satu kekhasan Manggarai sebagai suku bangsa adalah adanya berbagai kesamaan dalam bahasa dan watak.
BAB 3
UPACARA PENTI
Upacara penti adalah upacara syukur. Kata itu sendiri merupakan kata yang kurang familiar dalam bahasa harian orang-orang Manggarai . Ketika seseorang menyebut kata “penti” dalam budaya Manggarai, orang-orang Manggarai akan mengarahkan pikirannya pada suatu upacara syukur meriah.
Penti dilakukan sebagai tanda syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta) dan kepada arwah nenek moyang atas semua hasil jerih payah yang telah diperoleh dan dinikmati, juga sebagai tanda celung cekeng wali ntaung (musim yang berganti dan tahun yang beralih). Upacara ini biasa dilakukan setelah semua panenan rampung (sekitar Juni-September). Jikalau sanggup, acara ini dilakukan setiap tahun tetapi seringkali tiga atau lima tahun sekali. Ada keyakinan bahwa jika acara ini tidak dilakukan, akan membuat Mori Jari Dedek marah. Kalau hal itu terjadi, akan ada bencana-bencana yang menimpa masyarakat Manggarai.
3.2. Susunan Upacara
Bagian ini diambil dari buku Kebudayaan Manggarai (dengan beberapa perubahan).
Upacara penti terdiri dari beberapa babak, yaitu:
3.2.1. Upacara pra-penti: Podo Tenggeng (mempersembahkan kepincangan atau kekurangan)
Upacara ini lakukan pada pagi hari yang mana malamnya acara penti dilakukan. Tujuan acara ini adalah untuk mempersembahkan segala kekurangan agar dalam tahun berikutnya semua semua bencana kelaparan dijauhkan atau dibuang. Hewan persembahan adalah seekor babi kecil, seekor ayam kecil yang berbulu hitam, dan juga peralatan yang tak terpakai karena rusak seperti keranjang rusak, bakul rusak, periuk pecah. Benda-benda itu melambangkan kepincangan hidup dan kekurangan dalam kehidupan ekonomi.
Hewan dan alat-alat itu dibawa ke tempat upacara, yaitu cunga (tempat pertemuan dua sungai, muara). Rumusan inti doa di tempat itu adalah:
“Ho’o lami ela miteng agu manuk miteng, kudut kandod sangged rucuk agu ringgang landing toe ita hang ciwal, toe haeng hang mane. Porong ngger laus hentet, ngger ce’es mbehok, kudut one waes laud one lesos saled” (Inilah kami persembahkan seekor babi dan seekor ayam, semuanya berwarna hitam, sebagai tanda penolak kelaparan. Biarlah semua bencana kelaparan hanyut di sungai ini bersama darah babi dan ayam ini serta bersama redupnya terang matahari hari ini).
Selanjutnya, ayam dan babi itu dibunuh, digantungkan pada kayu cabang yang dipancang di tempat upacara. Kemudian, bersama dengan peralatan yang rusak itu, babi dan ayam itu dihanyutkan. Sebelum meninggalkan tempat itu, semua parang atau pisau yang digunakan untuk membunuh harus dibersihkan di sungai itu. Kemudian semua orang pulang ke kampung dengan syarat tidak menoleh ke belakang agar segala kekurangan itu tidak lagi mengikuti dari belakang.
3.2.2. Upacara penti.
Beberapa hari sebelum upacara penti, seluruh keluarga di kampung itu mengundang kaum keluarga mereka. Acara ini terbagi dalam beberapa bagian, yakni: Barong wae teku, Barong compang, Libur kilo, Wae owak, dan Tudak penti (upacara puncak).
3.2.2.1. Barong wae teku
Semua keluarga berkumpul di rumah adat (gendang). Bahan yang perlu disiapkan adalah ayam, telur mentah, sirih pinang, dan kapur.
Jalannya upacara:
1. Dibuka dengan renggas (pemberitahuan bahwa upacara dimulai atau berakhir).
2. Peserta berbaris berarak-arak ke mata air dengan pukulan gong dan gendang yang disertai dengan lagu arao:
Cako (Solo) : Ara o e neki weki ara o (kita berkumpul)
Wale (jawab) : Ara o
Cako : Ara o e ranga manga ara o (hadir di sini)
Wale : Ara o
Cako : Ara o e celung cekeng ara o (musim berganti)
Wale : Ara o
Cako: Ara o e wali ntaung ara o (syukur atas semua hal yang diperoleh dalam tahun ini)
Wale: Ara o
Cako : O e neki weki ara o o e
Wale : Ara o
Cako: O e manga ranga ara o o e
Wale: Ara o
Cako: Ara o e kaing dani ara o (mohon panen berlimpah)
Wale: Ara o
Cako: Ara o e tegi becur ara o (mohon agar kebutuhan akan makanan tercukupi)
Wale: Ara o
Cako: Ara o e uwa gula ara o (semoga bertumbuh mulai pagi hari)
Wale: Ara o
Cako: Ara o e bok leso ara o (juga setiap hari)
Wale : Ara o
Cako : O e kaing dani ara o o e Ara o e tegi becur ara o o e
Wale : Ara o
Lagu yang disertai pukulan gong dan gendang baru berhenti bila tiba di mata air minum
3. Acara di mata air minum:
a. Pemberian sirih pinang yang diletakkan dengan ungkapan : Empo, ho’o kala agu raci te cepe (Nenek, kami memberikan sirih pinang ini). Ai to’ong de penti, teho’on barong wae teku (karena sebentar malam diadakan upacara penti, sekarang upacara di air minum/air timba ini).
b. Telur mentah dipecahkan bagian atasnya, lalu diletakkan di atas buluh dengan ungkapan: Empo Ho’o tuak, salangn tuak ho’o, ai to’ong penti, dasor meu agu ami camas-camas baron wali di’a sangged di’a de Morin ata poli teing latangt ite. (Nenek, ini tuak, maksudnya karena sebentar mau diadakan upacara penti, semoga kita bersama-sama menyampaikan syukur atas segala kebaikanNya yang telah dicurahkan kepada kita.).
c.Pembawa persembahan memegang ayam. Sebelum tudak atau do’a di dahului renggas sebagai pembukaan.
Tudak atau do’a:
Denge le meu empo, ho’o de manuk kudut barong wae. (Dengarlah ya nenek, ini ayam untuk dipersembahkan di air ini).
Wali di’a kamping ite Morin agu Ngaran, ai ite poli teing ami wae bate tekugm ho’o (Sampaikanlah syukur kepada Tuhan, karena Tuhan sudah memberikan kami air untuk kebutuhan kami.
Tegi kali dami (kami mohon) : Lami agu riang koe wae teku ho’o (jagalah air minum ini).
Dasor mboas kin wae woang, kembus kin wae bate tekugm ho’o. (semoga air minum ini senantiasa mencukupi kebutuhan kami).
Dasor neka koe Wong le roho agu rove le lus wae teku ho’o. (semoga dijauhkan dari segala gangguan yang merusakkan air ini).
Porong inung wae ho’o wae guna Laing latangt weki agu wakar dami. (semoga air ini berguna bagi jiwa dan raga kami).
Porong mese bekek kali, mbiang ranga (semoga memberikan kesegaran bagi kami).
Kemudian ayam disembelih, lalu dibakar untuk diambil sebagian hatinya, ususnya serta dagingnya untuk dijadikan sesajian. Kemudian lagu renggas sebagai tanda upacara di tempat itu telah selesai. Arakan dari mata air ke Compang dengan pukulan gong dan gendang yang diiringi lagu Arao seperti di atas.
3.2.2.2. Barong Compang
Barong Compang : Upacara di compang (kumpulan batu di tengah kampung yang digunakan sebagai tempat pemujaan roh-roh), yang terletak di tengah-tengah kampung.
Bahan persembahannya adalah Sirih pinang, telur mentah sebagai Tuak, dan ayam. Maksud pemberian sirih dan telur mentah sebagai tuak untuk mengundang roh-roh yang menjaga compang supaya hadir di Rumah Adat nanti dalam upacara penti.
Acara di Compang
1. Renggas sebagai pembukaan upacara.
2. Tudak atau do’a :
Denge di’a le meu empo, ho’o de manukn barong compang, ai to’ong wie penti one mbaru (dengarlah ya roh penjaga megalithik, ayam ini kami persembahkan di tempat ini, karena sebentar malam diadakan upacara. penti).
Tegi kali dami (kami mohon), Dasor dengga koe paang kali, nggaru koe di’a ngaung (Mohon perlindungan seluruh kampung, mulai dari bagian depan hingga bagian belakang).
Dasor tadang koe darap detana, agu kolang de leso (semoga dijauhkan dari gangguan wabah penyakit).
Tadang koes tae raja kali, deu koes tae wie (semoga di jauhkan dari gangguan manusia dan gangguan setan).
Sika koe ringang kali, wur koe rucuk, agu kando koe dango (jauhkan dari gangguan kesehatan).
Ho’o manukn lami kudut loces meu empo, ai poli baro one wae teku agu one compang (inilah ayam untuk menerima roh yang menjaga air minum dan yang menjaga compang).
Dasor nai ca anggit ite, tuka ca leleng, to wall di’a sangged widang de Morin ata poli tei kamping ite one ntaung ata belaud, agu tegi kole sembeng, titong agu berkak latangt ite (semoga kita bersatu untuk bersama-sama menyampaikan syukur atas semua kebaikan Tuhan yang telah kita peroleh dalam tahun yang barn kita lewati, dan mohon lagi perlindungan, bimbingan serta berkat untuk hidup selanjutnya)
Kemudian ayam disembelih dan seterusnya dibuat helang seperti tersebut di atas. Kemudian upacara toi loce (penunjukan tempat istirahat/tempat duduk bagi arwah).
3.2.2.3. Libur kilo
Upacara libur kilo adalah syukuran keluarga. Persembahannya adalah seekor ayam dan seekor babi kecil. Acara libur kilo, urutannya:
1. Renggas sebagai pembukaan upacara
2. Lagu pembukaan : Lagu sanda lima
Sanda lima adalah kebutuhan yang dibutuhkan oleh manusia. Lima kebutuhan itu adalah sebagai berikut
a. Mbaru tara kaeng (rumah tinggal)
b. Natas tara labar (halaman tempat bermain)
c. Wae tara teku (air minum/air timba)
d. Uma bate duat (kebun garapan sebagai sumber makanan dan hasil lainnya)
e. Compang (batu berundak-undak tempat meletakkan persembahan yang terletak di tengah-tengah kampung). Compang merupakan tempat warga kampung berkomunikasi dengan Tuhan secara umum.
Kelima kebutuhan tersebut saling berkaitan. Kemudian dinyanyikan lagu-lagu berikut:
a. Lagu sanda lima :
1. Solo (cako): 0 lima o, o hae a ko sanda lima e. Pati koe jari Mori e tei koe reci lima e … hae a … lima bo … mola … mola bong.
Cual (oleh satu orang) : o ..ando . o . rame a
Bersama-sama : E ..a . e ..e hae a ko sanda lima Lima bo … A … o … mola-mola bong.
Arti lagu di atas : Mohon kecukupan makan/pangan.
2. Solo: 0 limao o haea ko sanda lima e
Mbaun koe eta Mori e, lemekn koe wa.
Lima bo … A … o … mola … mola bong.
Arti lagu Mohon hidup baik.
Diselingi:
Lagu Ongko Koe
(ongko koe = semoga tetap bersatu).
Solo (cako) : Ongko Koe a … ac, … e Mori ongko koe a ongko sala koe.
0 Mori ongko sala koe a … Dasor di’a ya taki len ongko koe.
Satu orang (cual) : Ara … le a … ao … e … Mori baeng Sama-sama (wale) Ami o … 2 X E … eo … ao … ongko koe a ongkos sala koe. 0 Mori ongko sala koe a … Dasor di’a ya taki len ongko koe.
Arti lagu : Persatukan kami ya Tuhan hingga selamanya.
Lagu Dendeng Ine
(Dendeng = sanjung, ine = ibu, menyanjung ibu).
Solo: Dendeng ine a … ao … e Mori dendeng ine a dendeng sala ine. 0 Mori dendeng sala ine a, pedeng jerek was susu dendeng.
Arti: mohon berkat bagi ibu
Dilanjutkan ayat berikut:
3. Solo: 0 limao o haea ko sanda lima e. Malir koe di’a le Mori e tumbu di’a koe lau.
Limae … hae lima bo … mola-mola bong.
Satu orang : 0 Lando … o … rame a
Sama-sama : E … a … e … e … E … a … haea ko sandit Lima bo … A … o … mola … mola bong.
Arti lagu tersebut adalah Mohon aliran berkat Tuhan.
Tudak (do’a):
Ho’o manuk agu ela kudut libur kilo, tae de(Ini ayam dan babi untuk libur kilo).
Kemudian pemimpin menyebut nama yang tertua atau berstatus kepala keluarga dalam keluarga yang bersangkutan sampai yang bungsu).
Tegi kali dami (kami mohon): Neka manga baka baras agu ngentung tuka (semoga makanan yang kami makan tidak mengganngu kesehatan kami).
Neka koe tungga salang duat, neka caka salang we’e
Jauhkan dari gangguan pada sa’at pergi dan pulang kerja).
Dasor beka agu buar kali (semoga keluarga iniberkembang).
Kete koe api one kali, tela kid galang peang (semoga kebutuhan hidup terpenuhi dan ternak babi berkembang).
Dasor wua raci kali lebo kala (semoga berbuah pinang yang ditanam, demikian pulah sirih).
Dasor mbaun eta kali mose dami, lemekn wa, wiko le ulu kali jengok lau wai, (semoga mengalami hidup baik).
Dasor malir di’a le kali tumbu di’a lau (semoga rahmat Tuhan mengalir lancar).
Dasor mere bekek kali mbiang ranga (semoga bertumbuh sehat dan cerialah kami).
Kernudian ayam dan babi dibunuh; lalu hati, usus dan daging diambil sebagian kecil untuk dijadikan sesajian. Dengan demikian upacara Libur Kilo telah selesai dan ditutup dengan renggas.
3.2.2.4. Wae Owak
Wae Owak yaitu upacara persembahan masing-masing keluarga, yang letak sesajiannya ditempatkan pada tempat khusus, sesuai kebiasaan tiap keluarga (kilo); ada yang dalam rumah, ada yang di luar rumah pada batu compang khusus atau pada pohon tertentu. Bahan persembahannya seekor ayam.
3.2.2.5. Tudak penti (upacara puncak)
Seluruh warga kampung berkumpul dalam rumah gendang. Bahan persembahan untuk upacara penti adalah ayam dan babi.
Urutan acaranya sebagai berikut:
a. Renggas/pembukaan
b. Lagu Sanda Lima, lagu Ongko Koe, lagu Dendeng Ine. Liriknya sama seperti pada upacara Libur Kilo.
c. Tudak (do’a):
Denge le meu empo, ho’o lami manuk agu ela kudut penti weki peso de beo. (Dengar ya nenek(leluhur), ayam dan babi ini kami persembahkan untuk upacara penti).
Tae de … (pemimpin menyebut nama nenek dari setiap panga/klen).
Neka koe baka baras kali, neka ngentung tuka (semoga makanan yang dimakan tidak mengganggu kesehatan).
Neka koe tungga salang duat kali, neka caka salang we’e. (Jauhkan dari gangguan pada sa’at pergi puiang kerja).
Dasor beka agu buar kali, wigs ras kid pe’ang natas, res kid baling lele. (Semoga warga kampung tetap berkembang meningkat jumlahnya)
Dasor tei koe reci kali, pati koe jari. (Mohon kecukupan makanan). Dasor kete kid api one kali, tela kid galang pe’ang. (semoga rezeki sehari-hari tetap ada, demikian pula dengan peternakan yang dipelihara).
Dasor wua raci po’ong kali, lebo kala weri. (Semoga pinang yang kami pelihara berbuah, demikianpun sirih berdaun lebat; maksudnya agar istri senantiasa sehat clan beranak banyak).
Paeng koe kaba wale kali ga, ita koe kaba mils.(semoga kami memperoleh kerbau ternak berkecukupan).
Dasor neka koe matas kina na’ang kali, neka koe buruk manuk pening. (Semoga dijauhkan penyakit yang menyerang ternak, baik babi maupun ternak lainnya).
Dasor mbaun eta koe kali mose, dami one golo tara lonto ho’o, temekn wa, wiko koe le ulu kali, jengok koe lau wa’i. (Semoga warga kampung seluruhnya tetap sehat wal afiat clan sejahtera).
Dasor malir di’a koe kali lolin berkak de Morin, tumbu di’a koe lau (semoga berkat dan rahmat Tuhan mengalir).
Kemudian diadakan congka kolong (tarian penutup) yang diiringi pukulan gong clan gendang serta diiringi lagu “kolong o”.
Solo: Kolong o … celu cekeng to de wali ntaung To de a o ae lawage.
Tei reci to de, pati jari to de a o a e lawa ge. A o a o o o lurang tali wua eta main e.
Kanon (lagu disambut oleh seorang) : Kolong o … 0
rame
Jawab (bersama-sama) :Kolong o o o … A … a e a … oe o lurang tali wua eta main e.
Arti lagu upacara ini adalah upacara pergantian tahun yang diturunkan dari leluhur memohon kecukupan makanan untuk kehidupan selanjutnya.
Dengan selesainya congka kolong ini, maka selesai pula seluruh rangkaian upacara penti menurut adat Manggarai.
3.3.Upacara penti di zaman sekarang
Setelah mengenal upacara penti, kita dapat menganalisis paham-paham tradisional Manggarai tentang Tuhan dan leluhur. Kita dapt berpijak pada hal itu untuk menganalisis sebab sehingga upacara ini tidak lagi dijalankan di semua kampung di Manggarai.
Saat ini, upacara penti tidak dijalankan di semua kampung di Manggarai. Salah satu kampung yang secara konsisten tetap melaksanakannya, misalnya kampung Wae Rebo.
Alasan yang mungkin sehingga upacara ini tidak dilakukan di semua tempat di Manggarai adalah:
a. Modernisasi: berkembangnya cara pemikiran rasional dalam diri putra-putri Manggarai, terutama kaum muda.
b. Pengaruh agama katolik, yang mengganti upacara ini dengan misa meriah syukur panen.
c. Sosialisasi budaya yang kurang berhasil sehingga dalam diri kaum muda kurang ada kecintaan yang mendalam bagi budaya penti.
BAB 4
PENUTUP
4.1 KesimpulanUpacara penti adalah upacara masyarakat Manggarai yang bertujuan untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan para leluhur atas hasil pertanian selama setahun atau beberapa tahun. Susunan upacara ini adalah: upacara Podo Tenggeng, Barong Wae Teku, Barong Compang, Libur Kilo, Wae Owak Dan Tudak Penti.
Saat ini, upacara penti tidak lagi dijalankan oleh semua orang Manggarai. Alasan-alasan yang mungkin adalah modernisasi, perkembangan agama katolik, dan sosialisasi budaya penti yang kurang berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Junaidi “Upacara Pemberkatan Sumber Mata Air dalam Kegiatan Penti”. http://www.floresecotourism.com/artikel/5/55/upacara_penti_-_ritual_syukur,_kekeluargaan,_dan_pelestarian_alam.html . diunduh 18 November 2010, pukul 14. 05
Bustan, Fransiskus . “Makna Lagu Ara dalam Ritual Penti Pada Guyup Tutur Etnik Manggarai di Flores”. http://74.6.117.48/search/srpcache?ei=UTF-8&p=budaya+penti&fr=slv1 &u=http://cc.bingj.com/cache.aspx?q=budaya+penti&d=4792015410627354&mkt=en-US&setlang=en-US&w=a746f25e,e178c9b9&icp=1&.intl=us&sig=Qz6gyvuGcMBF98zswOVR9g–. diunduh pada tanggal 18 November 2010, pukul 14.05.
Antoni Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai : Sebuah Khasanah Kebudayaan Nasional ( Surabaya: Ubhaya Press, 1997), hal. 81
Ibid., hlm 78-93. Dagur adalah seorang tokoh masyarakat Manggarai. Buku ini ditulisnya pada saat ia menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayan Kabupaten Manggarai. Jabatan berikutnya adalah Bupati Manggarai (1999-2004).
Fransiskus Bustan . “Makna Lagu Ara dalam Ritual Penti Pada Guyup Tutur Etnik Manggarai di Flores” (http://74.6.117.48/search/srpcache?ei=UTF-8&p=budaya+penti&fr=slv1 &u=http://cc.bingj.com/cache.aspx?q=budaya+penti&d=4792015410627354&mkt=en-US&setlang=en-US&w=a746f25e,e178c9b9&icp=1&.intl=us&sig=Qz6gyvuGcMBF98zswOVR9g–), diunduh pada tanggal 18 November 2010, pukul 14.05.
Fransiskus Bustan mengadakan penelitian tentang makna lagu ara dalam Guyup Tutur Etnik Manggarai (GTEM). Dia menulis (ada beberapa editan):
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh sebuah gambaran umum bahwa, lagu Ara merupakan salah satu produk dan praktek budaya Manggarai tetesan masa lalu yang bersifat multidimensional dan sarat makna. Dikatakan demikian karena, selain menyandang makna religius sebagai dimensi makna paling utama, dalam satuan bahasa yang dipakai dalam lagu Ara tergurat pula makna sosiologis dan makna estetis yang terajut dalam satu kesatuan dengan konteks ritual penti dan konteks budaya Manggarai secara keseluruhan. Dalam makna tersebut tersurat dan tersirat seperangkat gagasan dan cara pandang warga Manggarai tentang dunia, baik dunia yang secara faktual terjadi maupun dunia simbolik atau dunia imaginatif yang keberadaan objek yang menjadi rujukannya hanya berada dalam tataran ideasional atau mewujud dalam bentuk peta pengetahuan, sesuai realitas sosial-budaya yang dihadapi dan dialaminya.
Makna religius lagu Ara berkaitan dengan persepsi etnik manggarai tentang eksistensi Tuhan ( Morin agu Ngaran), roh leluhur ( ende agu ema), dan roh alam ( ata pele sina ). Ketiga kekuatan supranatural atau adimanusiawi tersebut diyakini sebagai sumber kekuatan moral utama yang sangat menentukan kesejahteraan hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat dalam ziarah kehidupannya di dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Suratan dan siratan makna religius lagu Ara dapat disimak dalam satuan bahasa yang dipakai dalam beberapa kalimat atau klausa berikut.
(1) celung cekeng (ganti musim) ’pergantian musim keja’
(2) wali ntaung (balik tahun) ’peralihan tahun musim’
(3) kaing dani ( minta panen berlimpah) ‘mohon hasil panen yang melimpah’
(4) tegi becur (minta kenyang) ’mohon hasil panen yang melimpah’
(5) uwa gula (tumbuh pagi) ‘tumbuh pagi’
(6) bok leso (tunas siang) ’tunas siang’
Sesuai kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik, kalimat (1) dan (2) bersifat saling menunjang dan menegaskan secara maknawi yang diwahanai dengan pemakaian kosakata yang berbeda, namun kosakata tersebut masih berhubungan secara sinonimis. Kata celung ‘ganti’ dalam kalimat (1) yang merupakan bentuk reduplikasi semantis dari kata caling ‘ganti’ berpadanan makna dengan kata wali ‘balik’ dalam kalimat (2). Demikian pula kata cekeng ‘musim’ dalam kalimat (1) berpadanan makna dengan kata ntaung ‘tahun’ dalam kalimat (2). Secara kontekstual, kedua kalimat tersebut menyingkap permohonan warga GTEM kepada Tuhan sebagai Pemilik dan Penguasa Alam Semesta agar peristiwa peralihan tahun musim dari tahun musim yang lama ke tahun musim yang baru berjalan lancar, dan mereka terbebas dari serangan berbagai jenis penyakit dan bencana alam yang dapat membawa kesengsaraan dalam realitas kehidupannya.
Junaidi Arif, “Upacara Pemberkatan Sumber Mata Air dalam Kegiatan Penti” (http://www.floresecotourism.com/artikel/5/55/upacara_penti_-_ritual_syukur,_kekeluargaan,_dan_pelestarian_alam.html ) , diunduh 18 November 2010, pukul 14. 05
Acara ini misalnya dilaksanakan pada 14-15 november 2009 sebagaimana yang laporkan oleh Junaidi Arif dari Burung Indonesia. ia menulis:
“Bagi penulis, Upacara Penti tidak hanya sekedar ritual berkumpulnya masyarakat Wae Rebo. Namun, ada hal yang lebih subtantif di sini, yakni sebuah kekuatan budaya untuk melestarikan leluhur nenek moyang, dengan kuatnya arus budaya barat yang masuk ke negeri ini. Hal yang lain adalah rasa kecintaan masyarakat Wae Rebo terhadap alam dan isinya, terutama air sebagai sumber kehidupan. Bagi masyarakat Wae Rebo, menjaga sumber mata air sebagai sumber kehidupan, menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya seperti burung serta habitat lainnya, merupakan warisan nenek moyang yang harus tetap dijaga. Hal ini terlihat dari masih terjaganya kondisi hutan di sekitar perkampungan Wae Rebo. Sungguh cantik negeri ini…..Apabila masyarakatnya punya rasa cinta seperti masyarakat Wae Rebo. Hutan lestari, air sudah dekat.”
Dikirim Oleh : David Edison
Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta. tertarik dengan masalah humanitas.
Bagi yang punya cerita sendiri dari Desa Anda silahkan kirimkan ke email kami: Golopaleng@yahoo.com